Tanpa terasa 10 tahun sudah berlalu, kejadian gempa
dan tsunami yang melanda Aceh. Bencana yang telah memporak- porandakan negeri
Serambi Mekkah ini terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 pada pukul 8 kurang 1
menit waktu Indonesia bagian barat. Menyisakan kedukaan yang amat mendalam bagi
masyarakat Aceh hingga saat ini. Tak heran setiap tahunnya masyarakat selalu
mengadakan peringatan Tsunami dengan melakukan kegiatan seperti dzikir bersama
serta aksi-aksi sosial lainnya dari berbagai kalangan masyarakat.
Sudah
10 tahun, banyak sekali perubahan fisik Aceh hingga saat ini. Semakin menjamur
bangunan-bangunan modern yang dulunya tidak ada. Aceh memang jauh lebih
berkembang dari sebelum Tsunami terjadi. Entah ini berkah atau malah
sebaliknya…
Biasanya
saat akan menjelang peringatan Tsunami, akan banyak sekali bermunculan wacana
mengenai bencana ini. Dari beberapa pendapat teman yang saya temui di media
sosial, beragam pemikiran mereka dalam mengingat kejadian tersebut.
“Andai saja
Tsunami tidak pernah terjadi, apakah Nanggroe kita akan maju seperti ini,
apakah kita menyadarinya?”.
Mungkin
bagi orang yang tidak mengalami kejadian langsung pada saat ini masih wajar
untuk memberikan pertanyaaan ini bagi mereka. Akan tetapi sanggupkah kita menanyakan ini pada mereka yang
kehilangan segalanya? Mereka yang kehilangan seluruh keluarganya, mereka yang
hanya hidup sebatang kara, mereka yang mendambakan hidup bahagia dengan
keluarga. Bagaimana jika mereka kembali bertanya, “Andai saja Tsunami tidak terjadi, apakah keluargaku bisa tetap hidup?
Apakah aku tidak akan hidup sendiri dan bisa bahagia?”
“Bisakah kita
berkata-kata dengan lebih realistis dan menjaga perasaan orang lain? “
“Apakah bagi
kita lebih penting kemajuan ketimbang perasaan orang lain?”
“Bisakah kita
menjaga perasaan orang lain sehebat kita menjaga perasaan kita?”
Kita
tidak berhak dan memang tidak mempunyai hak untuk menyalahkan Tuhan atas
bencana ini. Karena kita percaya Ia punya rencana terbaik karena Ia lah Yang
Maha Bijaksana. Bencana ini merupakan teguran dari-Nya atas kelalaian kita
sebagai manusia. Kita yang terlalu lalai akan kepentingan dunia dan melupakan
kepentingan akhirat. Kita yang selalu mengejar kemewahan hidup akan tetapi lupa
untuk bersedekah. Kita yang belajar ilmu agama akan tetapi sulit
mengaplikasikannya didalam kehidupan sehari-hari. Kita yang lalai beribadah
pada-Nya, Tuhan yang menciptakan kita. Maka wajarlah jika Ia marah dan
memberikan kita peringatan.
Harta
yang bersifat sementara. Harta yang setiap waktu kita kejar dan kita kumpulkan
bukanlah yang terpenting dalam hidup ini, semua ini milik-Nya tanpa terkecuali.
Semua bisa diambil Nya kapanpun Ia mau. Kesombongan dan keangkuhan kita sebagai
manusia tidak ada apa-apanya.
“Jadikan tsunami sebagai peringatan kita
untuk selalu berbuat kebaikan”
Setiap cobaan
pasti ada hikmahnya, tanpa terkecuali karena Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Dengan adanya cobaan ini semoga kita menjadi pribadi yang lebih
baik, menjadi manusia yang selalu taat akan perintahNya dan menjauhi segala
laranganNya.
“Semoga Aceh Lon
Sayang dapat sesegera mungkin meyempurnakan hukum Syariat Islam.”
“Semoga Allah
SWT selalu meridhai kami, Semoga Allah SWT selalu menjaga dan melindungi kami,
rakyat Aceh…”
Aamiin ya rabbal
Alamiin